Sunday, 08 June 2025
By Kin Basari
Coba deh kamu bayangin dulu, ceritanya sekarang kamu lagi duduk di samping rumah jam 4 sore, menikmati kesenjangan waktu luang cuti dari sibuknya template rutinitas keseharianmu, dengan ditemani camilan lompong sagu yang begitu nikmat, rasa gurih dan pedasnya sangat pas khas minang (berasa langsung jadi orang Minang saat makan itu), serta segelas teh manis yang manisnya bukan karena dicampur gula tapi dengan susu kental manis, dan nggak lupa juga sambil Scroll Instagram. Kalau sudah kita sampingkan dulu cerita itu sebentar.
Terlepas dari itu semua tiba-tiba kamu ngerasa kaya lagi diawasin, tapi bukan sama orang yak, lebih ke "sesuatu". Sesuatu yang tahu banget tentang kamu, tahu kamu itu suka teh tarik, tahu kamu tertarik sama orang minang, tahu kamu baru putus dua minggu lalu, dan lebih creepy-nya lagi tahu kamu barusan nge-search “cara move on dengan cepat” di Google.
Okee selamat datang di era AI, zaman di mana algoritma bisa nebak isi hati kamu bahkan sebelum kamu sempat cerita ke sahabat sendiri. Kayak punya mantan yang masih ngikutin hidup kamu tapi dalam bentuk kode.
Dulu tuh orang pada rebutan emas, sekarang malah rebutan data. Data kamu itu banyak banget yang dikumpulin, mulai dari lokasi, hobi, dan kebiasaan sebelum tidur sampai bangun tidur, bahkan berapa lama kamu nonton video lucu orang jatuh diiringi backsound Kowe Tak Sayang-Sayang, semuanya bisa direkam.
Tapi ya, pertanyaannya: siapa yang ngumpulin? Dan buat apa? Katanya sih, “Biar pengalaman pengguna jadi lebih baik.” Tapi kok anehnya kalau emang buat kebaikan kita, kenapa iklan skincare terus yang muncul, padahal jerawat aja nggak punya.
Jika kamu tahu kamu sedang diawasi, tapi tak tahu siapa yang mengawasi, apakah kamu benar-benar tahu?
Selama ini kita mikir yang megang kendali atas AI itu kita sendiri. Tapi makin kesini mulai kepikiran jangan-jangan malah AI itu yang ngatur hidup kita? Misalnya aja, kamu bilang suka drama Korea, eh tahu-tahu algoritma langsung nyodorin 50 judul kayak sales kejar target. Cuaaaak.... Awalnya sih kamu milih yang kamu suka, tapi lama-lama kamu jadi nonton yang biasa aja cuma karena sering lewat di beranda. Tanpa sadar, kamu kejebak di pola yang dibentuk sama si mesin.
Terus kamu bilang, “Tapi kan aku tetep punya pilihan.” Hmm, bener sih, tapi coba pikir lagi, pilihan itu munculnya dari mana? Dari kamu atau dari rekomendasi yang disusun rapi sama AI? Kita merasa bebas, padahal mungkin cuma milih dari opsi yang udah disiapin buat kita. Jadi, siapa sebenarnya yang ngatur arah kita, pikiran sendiri, atau algoritma yang pintar banget pura-pura jadi temen setia?
Kalau semua yang kamu lihat adalah hasil dari yang dipilihkan AI, lalu kapan terakhir kali kamu benar-benar memilih?
Ini dia bagian yang agak ribet. Jadi gini, AI itu kan buatan manusia. Tapi anehnya, sekarang malah manusia makin percaya sama AI buat ngawasin manusia lain. Lucu nggak sih? Kayak orang bikin robot, terus robotnya disuruh ngawasin orang lain. Terus muncul pertanyaan penting, siapa dong yang ngawasin AI? Jawabannya... yah, sering kali nggak ada yang bener-bener tahu. Kadang ada lembaga sih, kadang juga ada aturan. Tapi ya itu, “kadang”.
Masalahnya AI itu pinter banget, dia bisa belajar sendiri lewat yang namanya machine learning. Bahkan dia bisa ngejalanin hal-hal rumit yang mungkin penciptanya sendiri nggak ngerti lagi. AI bisa nyari celah, ngakalin sistem, dan terus berkembang tanpa nunggu izin siapa-siapa. Nah, di sinilah letak kekhawatirannya. Gimana kalau suatu hari AI jadi terlalu “liar”? Atau malah lebih paham kita daripada kita sendiri? Kadang mikirnya serem juga, tapi ya tetap aja kita terus pakai teknologi itu tiap hari.
Kalau manusia mengawasi AI, dan AI mengawasi manusia, lalu siapa yang sebenarnya sedang diawasi?
Ini bukan soal jadi paranoid. Tapi juga bukan soal cuek. Kita hidup di zaman di mana data pribadi bukan cuma angka, tapi cermin dari siapa kita. Dan ketika cermin itu dilihat terlalu banyak orang (atau mesin), kita mulai kehilangan bayangan kita sendiri.
Jadi, lain kali kamu buka aplikasi dan diminta izinkan akses kamera, mikirlah sebentar. Kadang yang sederhana itu bukan masalah teknis, tapi teka-teki yang belum kita sadari. Dan apa yang selalu ada di balik layar itu tak pernah tidur, malahan bisa jadi mungkin tahu kamu lebih baik daripada sahabatmu sendiri.