Fiksi Lebih Meninabobokan Dibanding Kenyataan

Monday, 14 July 2025
By Kin Basari


Memang bener sih, kehidupan fiksi memang jauh lebih seru dibandingkan realita, aku pribadi kalau lagi nonton film, baca novel, atau cuma dengerin lagu tuh kadang rasanya langsung auto tiba-tiba tenggelam dalam cerita fiksi dan ngerasa kayaknya dunia di sana tuh jauh lebih ramah? Di dunia fiksi, semua terasa lebih tertata. Konflik hadir dengan kalkulasi dramatis yang terukur, karakter dibentuk punya latar yang jelas dan motivasi yang kohesif. Bahkan penderitaan pun kayak punya tujuan. Nggak kayak hidup sehari-hari yang kadang cuma berisik doang tanpa makna, penuh distraksi dan ekspektasi yang nggak sinkron.


Coba deh pikirin dulu, kamu tuh ngerasa nggak kalau kenyataan itu kadang kerasa absurd banget, kayak sebuah labirin yang luas tapi tanpa denah. Kita bisa nyasar disana, nggak cuma nyasar malah bisa juga jatuh, dan nggak tahu harus ngapain. Terus parahnya lagi disana nggak ada jeda buat mikir. Masalah datangnya simultan, tanpa aba-aba, dan seringkali tanpa alasan yang bisa ditakar. Rasanya seperti dikasih luka tusukan tanpa tahu siapa yang melempar pisau. Dalam fiksi, luka itu estetika. Dalam kenyataan, luka itu cuma perih yang repetitif. Dan ironisnya, seseorang dipaksa buat tetap senyum di tengah absurditas eksistensial itu.


Makanya, sudah nggak heran lagi kalau kadang kita milih kabur sejenak ke dunia fiksi. Tempat di mana chaos-nya bisa diprediksi, dan air mata pun punya alasan yang lebih artikulatif. "ya nggak sih?" Di sana tuh rasanya bisa jadi siapa aja, bisa nangis gitu aja tanpa harus menjelaskan, bisa bahagia tanpa takut disalah pahami. Mungkin bukan karena dunia nyata terlalu buruk, tapi karena dunia fiksi lebih toleransi buat ngaaih ilusi kendali yang subtil, dan kadang, itu cukup banget buat bertahan. Inilah tiga alasan kenapa fiksi lebih meninabobokan dibanding kenyataan:



Logo Tinta Penaku Fiksi Lebih Meninabobokan Dibanding Kenyataan Tinta Penaku Fiksi Lebih Meninabobokan Dibanding Kenyataan



Realita yang Kacau dan Fiksi yang Terstruktur

Fiksi itu kayak pelukan diam di tengah riuhnya realitas, kerennya lagi dia bisa hadir sebagai pelarian yang subtil dari dunia yang seringkali terlalu bising dan penuh turbulensi emosi. Di dalamnya bisa dengan mudahnya bernapas tanpa harus menjelaskan kenapa sesak. Setiap kegagalan dalam cerita fiksi terasa lebih lunak, dan lebih bisa dimaklumi karena dikemas dengan narasi yang koheren. Sementara kalau di dunia nyata, sering banget jatuh tanpa tahu titik mula atau ujungnya, seakan hidup ini cuma serangkaian peristiwa arbitrer yang minta untuk tetap kuat tanpa alasan logis.


Ada kenyamanan tersendiri saat tahu bahwa segala luka dan kecewa dalam cerita fiksi dirancang untuk sebuah puncak keadaan atau resolusi. Semacam perayaan kecil untuk setiap penderitaan yang tertata rapi. Fiksi sebuah petunjuk jalur evakuasi buat nemu ruang meromantisasi kesedihan tanpa harus takut dihakimi. Fiksi juga menyelipkan melankolia dengan elegan, seperti potongan simfoni yang menyayat tapi indah. Mungkin itu alasan kenapa begitu mudah jatuh cinta pada dunia rekaan, karena di sana bahkan kerapuhan pun terasa valid dan estetis.



Menyusun Ulang Dunia Lewat Imajinasi

Sering kali tanpa sadar, kita makin betah tinggal di dunia yang kita reka sendiri yang bisa diulang, dibengkokkin, bahkan dipoles sesuka hati. Dunia yang penuh spekulasi dan kemungkinan tak terbatas. Sementara realitas? Dia itu rigid, keras kepala, dan kadang terlalu nyakitin banget buat diterima mentah-mentah. Fiksi jadi semacam ruang sublim untuk menenangkan kegaduhan batin, tempat di mana bisa ngatur ulang semuanya sesuai kebutuhan emosional, ini tuh kayak semacem terapi diam-diam yang nggak perlu sesi konsultasi atau tagihan.


Di dalam fiksi, kamu bisa nyelipin harapan di antara tragedi, atau menyulap kecewa jadi sesuatu yang lebih estetis. Eh dia nggak cuma fleksibel, tapi juga reseptif terhadap luka-luka kecil yang nggak bisa dijelasin ke siapa pun. Rasanya hampir seperti katarsis, tapi dibungkus pakai narasi yang menggugah dan imajinasi yang eklektik. Fiksi ngerti banget kapan kamu butuh pelukan, bahkan sebelum kamu sadar kalau kamu sedang hancur.



Antara Imajinasi dan Rasa yang Tidak Dijelaskan

Tentu fiksi bukan tentang mana yang lebih "nyata" atau "valid" dibanding kenyataan. Tapi ada sesuatu yang magis dalam caranya bisa nyentuh luka-lukamu, bukan dengan menghakimi, tapi dengan empati yang subtil. Dia nggak menggurui, tapi pelan-pelan merangkul lewat narasi yang resonan. Di sana, duka bisa jadi puisi, kekosongan bisa jadi jeda yang puitis. Fiksi mungkin tidak konkrit, tapi dia jujur dalam cara yang bahkan kenyataan pun sering gagal menyampaikannya. Ada semacam keintiman yang nggak kasat mata yang menyusup pelan dibalik setiap kalimatnya.


Fiksi bukan tempat kabur, tapi tempat singgah. Fiksi ngasih semacam ruang kontemplatif untuk bernapas dari dunia yang penuh kontingensi, ekspektasi, dan inkonsistensi. Di sana, kamu bisa mengada tanpa beban, menjadi siapapun tanpa terancam eksklusi. Dan mungkin, justru karena dia nggak pernah benar-benar ada, kamu bisa merasa lebih bebas, dan lebih diterima. Karena dalam fiksi, batas-batas identitas jadi cair, dan jatuh cinta pada dunia semu itu bukan ilusi, tapi bentuk dari perlawanan yang lembut terhadap kerasnya realita.



Estetika Dalam Penderitaan Dan Aman Dari Risiko Nyata

Dalam fiksi, kesedihan bisa tampil kayak lukisan muram yang tetap enak dilihat. Tangis tokohnya sering dikemas pakai dialog yang puitis, diiringi hujan rintik-rintik atau cahaya temaram yang melankolis. Ada semacam estetika yang menghaluskan duka, yang bisa bikin kerasa lebih elegan meski menyayat. Beda banget sama kenyataan yang kadang datangnya mendadak, udah gitu nyakitin pula, terus tanpa ada prolog juga. Di dunia nyata, luka itu mentah dan sering kali tanpa narasi yang bisa dipahami, semuanya serba sporadis dan bikin batin nyangkut di ruang ambigu.


Justru di situlah fiksi jadi ruang pelarian yang hakiki. Kamu bisa ikut hanyut dalam tragedi atau cinta yang rumit, tapi hati tetap aman dan nggak ada risiko riil, nggak ada juga kehilangan yang menyisakan trauma. Rasanya nyata, tapi konsekuensinya nihil. Ilusi rasa ini seperti anestesi emosional yang manjur banget, bikin kamu bisa “merasakan” tanpa perlu benar-benar remuk. Ada kelegaan dalam keterlibatan yang semu, semacam eskapisme yang subtil tapi adiktif.



Konflik yang Punya Makna, Kontrol, dan Kepastian

Masalah atau konflik dalam fiksi tuh kerasa lebih terkurasi banget. Luka yang kamu alami punya signifikansi, ada benang merah yang selalu ngubungin setiap kejadian dengan makna yang bisa dirasain. Bahkan penderitaan sekalipun dikemas sebagai bagian dari perjalanan menuju puncak keadaan. Sementara di dunia nyata, masalah sering datang tanpa prolog, tanpa motif yang jelas, cuma numpuk jadi beban eksistensial yang bikin mempertanyakan segalanya. Realitas kadang terlalu spontan, terlalu absurd diluar nalar, apalagi dimaknai secara linier.


Yang bikin fiksi makin nenangin adalah ilusi kontrol yang ditawarinya. Kamu bisa berhenti di halaman mana pun, ngulang bagian favorit, atau loncat ke ending kalau sudah nggak sabar. Ada semacam otonomi batin yang terasa menyenangkan. Tapi hidup? Nggak ada tombol pause, nggak bisa di-skip, dan nggak ada kesempatan buat revisi naskah. Kita cuma bisa jalan terus, meskipun kadang nggak tahu arahnya ke mana. Disinilah fiksi jadi semacam sanctuary, tempat kita bisa menikmati keteraturan dalam chaos yang imajinatif tapi terasa lebih masuk akal.



Catatan:

Mungkin itulah kenapa kita begitu mudah jatuh cinta pada fiksi, bukan karena hidup ini buruk, tapi karena fiksi menawarkan semacam pelukan sunyi yang tak kita temukan di dunia nyata. Di sana, luka punya arah, kehilangan punya makna, dan setiap kekacauan diatur dalam alur yang bisa dicerna. Fiksi memberi ruang untuk merasa tanpa takut hancur, memberi makna tanpa memaksa logika. Dalam dunia yang sering terasa semrawut dan tak kompromis, fiksi hadir sebagai ruang jeda, tempat kita bisa rebah, menarik napas panjang, dan percaya, meski hanya sebentar, bahwa segalanya akan baik-baik saja.



Baca Juga: