Sunday, 15 June 2025
By Kin Basari
Jadi aku tuh punya cerita, suatu hari (aku lupa itu kapan) aku masuk ke salah satu mall di daerah BSD, mau nyari handphone baru. Singkat cerita, handphone sudah ku beli dengan pembayaran non tunai, karena jarang pegang duit cash (maklum karyawan pabrik).
Dari pada langsung pulang akhirnya muter-muter dulu cuci mata, mumpung weekend saatnya cuci mata cari yang seger-seger udah full time weekday kerja terus, tapi waktu aku lagi seneng-senengnya cuci mata tiba-tiba ada sesuatu yang mengalihkan pandanganku, yaitu barang biasa yang harganya terlalu pede buat dipajang. Dalam hati aku langsung refleks bilang, “Lah, kok mahal banget sih?!". Padahal itu cuma kaos polos dan air minum dalam botol biasa.
Ternyata inilah salah satu bentuk anomali konsumtif dalam ekosistem kapitalisme modern, kadang juga orang sering bilang ini estetika semu dalam sistem kapitalisasi simbolik di mana harga seringkali ditentukan oleh label, bukan logika. Intinya semacam istilah ribet buat ngejelasin kadang nama lebih dijual daripada kualitas barangnya.
Pernah nggak sih kamu lihat kaos polos dijual seharga gaji sebulan karyawan swasta biasa, anehnya lagi yang bikin ini mahal itu cuma karena ada logo kecil di dada kiri. Padahal kualitas bahan dan jahitannya nggak jauh beda kayak kaos oblong lokal yang sering dipake abang-abang di pasar yang cuma ratusan ribu atau mungkin puluhan ribu.
Contoh paling epik? Air mineral dalam botol mewah. Harganya bisa jutaan, padahal itu cuma H₂O yang secara fungsional identik dengan air galon di dapur. Tapi, karena dibungkus dengan narasi "murni dari pegunungan surgawi", jadi terasa lebih divine. Di sinilah kita melihat permainan mitologisasi komoditas barang biasa yang dibungkus jadi legenda.
Padahal cuma sekedar tas tangan, tapi harganya bisa setara dengan harga motor karena merek tertentu. Dan ada juga yang karena dijahit rapi, lalu diberi label merek luar negeri, lalu langsung berubah jadi simbol strata sosial. Padahal bahan dasarnya sintetis dan dibuat massal. Nilai eksklusif sering kali jadi permainan persepsi. Kalau dipikir-pikir, ini semacam distorsi nilai objektif dalam ranah konsumsi modern. Tapi orang tetap beli, karena di dunia yang penuh ilusi ini, gengsi kadang lebih penting daripada logika.
Headphone juga sering jadi korban absurditas harga. Ada yang kualitas suaranya standar tapi kenyamanan tidak sebanding dengan harganya yang dibanderol selangit karena logo di atasnya. Anehnya, kita sering merasa "suaranya lebih enak" hanya karena tahu itu merek mahal. Fenomena ini disebut sebagai autosugesti konsumtif, di mana pikiran kita sudah dimanipulasi sebelum suara terdengar.
Bahkan pulpen pun bisa ikutan mahal. Pulpen metalik dengan cap mewah dijual jutaan, padahal isinya ya tetap tinta hitam biru yang sama. Tapi karena katanya ini pulpen para CEO dan pemimpin dunia, langsung jadi alat "ajaib" untuk tanda tangan sukses. Ini seperti transfer ilusi prestise melalui objek fungsional sederhana. Rumit? Memang, karena hidup kadang dibungkus berlapis-lapis oleh ilusi.
Nggak cuma pulpen, buku edisi khusus yang ada tanda tangan penulisnya kadang bisa dijual mahal banget, bisa sampai berkali-kali lipat dari harga normal. Padahal, isi halamannya ya sama aja, kata per kata nggak berubah. Tapi karena ada coretan tangan si penulis, tiba-tiba buku itu naik kasta. Ini semacam upgrade status dari "bacaan biasa" jadi "artefak literasi". Lucu juga, ya? Kadang tinta bisa lebih mahal dari isi otaknya sendiri. Ini yang sering disebut sebagai "proyeksi nilai simbolik terhadap objek non-utilitarian, kita menghargai bukan karena manfaat langsung, tapi karena makna buatan yang kita tempel sendiri.
Jadi, kalau kamu bertanya, kenapa barang-barang itu mahal padahal seharusnya nggak? Jawabannya sederhana karena manusia suka cerita, bukan sekadar benda. Kita beli narasi, simbol, bahkan mimpi, bukan cuma produk. Dan di sinilah ilusi kemewahan terus hidup, yang di mana orang-orang punya pola pikir "beli dulu mikir nanti", berputar dalam siklus yang rumit, penuh teka-teki, namun selalu memikat.