Tuesday, 08 July 2025
By Kin Basari
Di atas ketinggian yang membisukan segalanya, Gunung Rinjani berdiri megah seperti penjaga rahasia zaman. Di antara kabut tipis dan desir angin yang menyelinap ke dalam dada, jejak-jejak kaki menjadi saksi bisu dari perjalanan yang tak selalu pulang. Ada sebuah kisah tragis yang sangat menghebohkan publik yaitu cerita dari kisah Juliana dari Brazil seorang pendaki gunung Rinjani yang hilang terpisah dari rombongannya, Juliana pernah melangkah di sana, dengan harapan, mungkin juga keresahan. Tapi ternyata nggak semua perjalanan itu bisa mengantar pulang, dan nggak semua nama kembali disebut dengan pelukan. Juliana hilang, bukan sekadar dari pandangan, tapi dari peta kepastian yang selama ini kita yakini.
Gunung Rinjani, dalam senyapnya, menelan banyak hal, rencana yang belum selesai, tawa yang belum sempat tuntas, dan nama-nama yang kini hanya hidup dalam doa. Juliana menjadi bagian dari lanskap itu sebuah cerita yang menggantung di antara realita dan mitos. Bukan hanya kehilangan fisik, tapi semacam kekosongan eksistensial yang sulit dijelasin pakai logika. Saat kabut turun, seolah ia menyembunyikan sebagian dari dunia, termasuk Juliana, dalam lapisan-lapisan yang nggak mudah dijamah oleh kita yang tinggal di bawah.
Kini, setiap kali seseorang menyebut Gunung Rinjani, ada gema lirih dalam hati banyak orang, seperti bisikan yang tak selesai. Juliana bukan sekadar nama yang tertinggal di lereng-lereng batu, tapi juga simbol dari pencarian akan makna, akan kehadiran, akan hilangnya sesuatu yang kita pikir akan selalu ada. Dan mungkin, di satu titik sunyi di ketinggian sana, Juliana masih berjalan dalam bentuk yang tak kita pahami, tapi terus mengajarkan kita tentang kehilangan yang tak harus selalu dimengerti, hanya perlu diterima.
Gunung Rinjani bukan cuma tumpukan batu yang menjulang ke langit, gunung Rinjani seperti altar sunyi tempat manusia bertemu dengan versi dirinya yang paling jujur. Di sanalah, di antara kabut yang turun pelan dan bisik angin yang menyelinap ke dada, rasa kecil dan rasa kagum saling bertabrakan. Juliana pernah ada di sana, menapaki jalur-jalur yang membelah hening. Tapi ketika Juliana hilang, yang lenyap bukan cuma sosoknya, tapi juga kepastian. Gunung Rinjani seolah menyimpan Juliana di ruang yang tak bisa dijangkau peta dan doa, ia seperti hadir dan tak hadir dalam waktu yang bersamaan.
Kini setiap orang yang menyebut Juliana dan Gunung Rinjani dalam satu kalimat akan merasakan sesuatu yang samar, antara kehilangan dan pengharapan, antara logika dan keajaiban. Juliana menjadi semacam gema, yang tak pernah benar-benar hilang, tapi juga tak pernah kembali. Gunung Rinjani bukan cuma latar tempat, ia menjadi penjaga sunyi, menjadi misteri yang memeluk nama Juliana erat-erat dalam kabutnya. Dan kita, yang di bawah, cuma bisa menatap ke atas, sambil bertanya-tanya apakah Juliana kini bagian dari gunung itu sendiri?
Hilangnya Juliana di Gunung Rinjani bukan cuma cerita tentang langkah yang tak kembali, tapi tentang sesuatu yang lebih sunyi, lebih dalam dari sekadar kehilangan. Di ketinggian Rinjani, di mana kabut meraba dan angin tak bersuara, Juliana seolah dijemput oleh alam, bukan sebagai korban, tapi sebagai bagian dari misteri yang tak bisa kita uraikan. Mungkin Juliana nggak benar-benar hilang, mungkin ia hanya berpindah tempat yaitu dari peta ke ingatan, dari realita ke ruang di mana logika tak lagi berlaku. Gunung Rinjani tidak menjawab, tapi menyimpan nama Juliana seperti mantra yang terus bergaung di antara tebing dan pohon-pohon sunyi.
Setiap kehilangan di Gunung Rinjani selalu menyisakan pertanyaan, apakah Rinjani memang memanggil orang-orang tertentu? Atau kita yang kadang terlalu percaya diri menyentuh sesuatu yang sakral? Juliana jadi simbol dari pertemuan manusia dengan batas tak kasat mata bukan soal keberanian, tapi tentang keberadaan. Kini, Gunung Rinjani bukan cuma tempat tinggi yang didaki, tapi ruang suci yang diam-diam menyimpan nama Juliana, bersama pertanyaan-pertanyaan yang tak akan pernah benar-benar selesai kita pahami.
Kehilangan Juliana di Gunung Rinjani pelan-pelan mengajarkan kita hal yang sulit diterima, bahwa hidup nggak pernah bisa digenggam sepenuhnya. Kita bisa bikin rencana, bawa perlengkapan lengkap, bahkan berdoa dengan sepenuh hati. Tapi kadang, alam punya caranya sendiri untuk menunjukkan siapa yang sebenarnya punya kuasa. Juliana, dalam sunyi kepergiannya, mengingatkan kita bahwa ada bagian dari hidup yang memang nggak bisa dijelasin, sebuah ironi eksistensial yang diam-diam mengguncang kita dari dalam.
Juliana bukan cuma cerita tentang hilangnya seseorang di Gunung Rinjani, tapi tentang bagaimana manusia bisa menyatu dengan alam tanpa pamit. Di punggung Rinjani, di antara awan yang turun dan angin yang berputar, nama Juliana terasa seperti bisikan lembut yang nggak pernah benar-benar hilang. Juliana kini mungkin bukan lagi bagian dari dunia yang bisa disentuh, tapi ia hidup dalam kenangan, dalam kabut pagi, dalam tiap langkah pendaki yang menatap puncak dengan sunyi yang sama. Gunung Rinjani menyimpan Juliana bukan sebagai kehilangan, tapi sebagai bagian dari dirinya.
Makna sejati dari kehilangan Juliana di Gunung Rinjani bukan soal akhir yang pahit, tapi tentang pelajaran sunyi yang menancap dalam, bahwa tidak semua jejak harus pulang untuk bisa abadi. Juliana mungkin tidak kembali dari lereng Gunung Rinjani, tapi justru di situlah ia menjadi lebih dari sekadar nama, ia menjadi bagian dari kabut yang menyelimuti pagi hari di Gunung Rinjani, menjadi bisikan angin yang menyentuh bahu para pendaki Gunung Rinjani, menjadi nyanyian diam yang hanya bisa didengar oleh hati yang pernah kehilangan. Gunung Rinjani tidak mengambil Juliana, ia memeluknya dan lewat pelukan itu, Juliana tetap hidup, bukan dalam wujud, tapi dalam makna dan bagian Gunung Rinjani.