Ketika Rasa Percaya Diri Tak Sejalan dengan Kenyataan

Saturday, 28 June 2025
By Kin Basari


Kadang kita datang ke dunia ini dengan dada penuh euforia eksistensial seolah dilahirkan untuk menaklukkan semesta. Dari kecil kita dijejali dogma percaya diri, seperti berdiri tegak, bicara lantang, dan memandang masa depan dengan asumsi bahwa dunia akan membuka jalan saat kita melangkah. Rasanya seperti ada narasi heroik yang otomatis tertanam sejak dini. Tapi perlahan, hidup nunjukin bahwa realitas tak selalu sekooperatif itu.


Di tengah jalan, kita mulai ngerasain adanya friksi subtil antara impian dan kemungkinan. Keberanian yang kita anggap sebagai mata uang kehidupan, kadang nggak laku di pasar kenyataan. Langkah-langkah penuh optimisme justru malah kebentur tembok-tembok tak kasat mata, mulai dari penolakan, kekecewaan, dan absurditas yang nggak bisa ditawar. Kita mulai mengenal kata disonansi ketimpangan psikologis antara keinginan dan yang benar-benar terjadi. Dan di titik itu, jiwa mulai retak, pelan tapi konsisten.


Namun, justru dalam keretakan itu kita belajar mengenali diri yang paling otentik. Kita mulai nemuin bahwa dalam kehidupan ini bukan soal selalu menang, tapi mampu berdamai dengan ambiguitas. Tidak semua pertarungan perlu dimenangin, mungkin sebagian cuma perlu dipahami, dihayati, dan diterima dalam kontemplasi. Hidup pada akhirnya adalah tentang gimana kita berdiri di tengah badai sambil tetap jagain bara kecil yang disebut harapan meskipun kadang, harapan itu kerasa nyaris ilusif.



Logo Tinta Penaku Ketika Rasa Percaya Diri Tak Sejalan dengan Kenyataan Tinta Penaku Ketika Rasa Percaya Diri Tak Sejalan dengan Kenyataan



Keyakinan Yang Membara Namun Tertampar Oleh Realita

Percaya diri itu seperti api kecil yang menyala diam-diam dalam rongga dada hangat, memberi napas pada harapan, bahkan kadang jadi kompas yang kita andelin dalam keraguan. Tapi kalau terlalu membara tanpa kendali, ia berubah jadi destruktif. Kita ngerasa mumpuni, ngerasa layak dilihat dan didengar, padahal ekspektasi itu seringnya cuma lahir dari bias kognitif yang nggak berdasar. Saat terjun ke dunia nyata, barulah kita berhadapan dengan realitas objektif yang tidak mengenal ilusi internal. Dunia tidak mengevaluasi lewat afirmasi pribadi, tapi melalui bukti empiris yang bisa dipertanggungjawabkan secara pragmatis.


Dan di titik itu, kita mulai sadar kalau rasa yakin aja nggak selalu cukup. Percaya diri itu penting, tapi tetap harus dibarengin sama kemampuan nyata dan bukti yang kelihatan. Kalau nggak, ya cuma jadi keyakinan semu yang kita karang sendiri. Dunia emang suka sama orang yang berani, tapi lebih respek sama yang emang bisa ngebuktiin diri lewat aksi. Soalnya di hidup yang serba kompetitif ini, omongan doang nggak cukup yang dinilai itu kontribusi nyata, bukan cuma gaya bicara.



Tetap Berdiri Meskipun Langit Tak Selalu Cerah

Ada hari-hari di mana kita pulang membawa kecewa, bukan karena kurang usaha, tapi karena semesta yang nyajiin realita irasional dan nggak bisa diganggu gugat. Tamparannya pelan, nyaris nggak bersuara, tapi berhasil nembus sampai lapisan terdalam dari ekspektasi yang kita rawat diam-diam. Rasa itu mengendap kayak embun dingin, dia nggak kelihatan, tapi memanifestasikan kehampaan. Di tengah semua itu, kita mulai menyadari bahwa dunia nggak selalu kompatibel sama semangat yang naif. Kadang, hidup menghadirkan paradoks yang menyebalkan, semakin yakin, semakin getir saat gagal.


Dan di situ kita akhirnya ngerti, kalau rendah hati itu bukan berarti lemah, tapi semacam pelindung buat hati biar nggak gampang hancur pas hidup mulai nggak ramah. Kadang langit nggak selalu cerah, dan jalan pun makin sempit, tapi justru kemampuan buat nerima semuanya tanpa tumbang, itu yang bikin kita kuat. Emang sih, dunia nggak selalu peduli, tapi kita tetap bisa milih buat tetap lentur dan bijak, walau udah jatuh berkali-kali. Soalnya, kadang kemenangan itu nggak kelihatan megah, dia tersembunyi di balik kemampuan buat tetap tenang, meski hidup nggak sesuai skenario.



Saat Merasa Bisa Tapi Dunia Bilang Belum Saatnya

Ini bukan berarti percaya diri harus dieliminasi dari ruang batin kita. Justru sebaliknya, ia harus dirawat seperti nyala api kecil yang rentan padam tapi sangat berharga. Percaya diri yang sehat adalah yang lahir dari kesadaran metakognitif, ia tahu kapan harus melangkah dan kapan menepi. Bukan sebuah produk euforia sesaat, tapi hasil dari konsistensi dan kerendahan hati yang terinternalisasi perlahan. Kita tidak butuh merasa lebih hebat dari siapa pun, tapi yang kita butuhin itu meyakini bahwa pertumbuhan adalah sesuatu yang valid, bahkan dalam versi paling lambat sekalipun.


Percaya diri yang sebenarnya tuh nggak lahir dari menang terus-terusan, tapi justru dari saat kita kalah dan bisa nerima itu dengan kepala dingin. Di situ kita belajar buat nggak terlalu egois dan sadar kalau manusia itu naik-turun. Kadang kuat, kadang rapuh banget, dan itu wajar. Rasa yakin sama diri sendiri tumbuh bukan karena pujian orang lain, tapi dari obrolan diam-diam sama diri sendiri yang paling jujur. Dan ujung-ujungnya, percaya diri itu bukan soal tampil paling depan, tapi soal tetap berdiri tegak meski sendirian.



Percaya Diri Nggak Selalu Cukup Tapi Bukan Berarti Gagal

Pas kita sadar kalau percaya diri nggak selalu sejalan sama kenyataan, itu bukan akhir kok, malah justru awal mula. Awal buat ngelihat diri sendiri dengan lebih jujur, ngatur ulang langkah, dan mulai nanem harapan yang nggak cuma tinggi doang, tapi juga punya pijakan. Harapan yang bener-bener nyentuh tanah, yang tumbuh pelan tapi nyata.


Dari situ, pelan-pelan kita mulai ngerti arti sabar, arti gagal, dan arti bangkit lagi. Kebijaksanaan tuh nggak datang tiba-tiba, dia lahir dari kecewa, dari jatuh, dan dari berani nyoba lagi walau hati masih takut. Nggak perlu nekat kayak dulu, yang penting tetap jalan. Kadang, jadi kuat itu bukan soal keras kepala, tapi soal tetap percaya meski kali ini kita lebih hati-hati.



Catatan:

Seringkali muncul percikan antara harapan dan realita, ibarat nyala lilin yang diuji angin, kadang tetap tegak, kadang meredup. Percaya diri membuat kita berani melangkah, tapi kenyataan mengajarkan bahwa tidak semua langkah mulus, tidak semua panggung menyambut. Di titik itulah kita belajar membedakan antara keyakinan yang membangun, dan ilusi yang membius, bahwa keberanian sejati bukan sekadar percaya pada diri sendiri, tapi juga siap menerima bila dunia berkata, “belum saatnya.”



Baca Juga: