Tuesday, 05 August 2025
By Kin Basari
Apa kamu pemain Roblox? Kalaupun bukan pemain Roblox tapi kamu pasti tahu kan game Roblox itu seperti apa? Hari ini aku mau nyoba buat artikel tentang game Roblox, bukan tentang keseruan aplikasinya tetapi lebih ke siapa sebenarnya kamu dalam dunia virtual, mungkin ini akan menjadi sesuatu yang seru, karena game Roblox itu bukan sebuah game yang cuma seru buat dimainin tapi juga ada beberapa yang bisa dibahas dan diskusi secara bareng-bareng.
Di Roblox, kita bisa menjelma jadi apa pun, dari barista estetik di kafe pixelated sampai kesatria futuristik yang ngelawan alien di planet penuh glitch dan nasih banyak lagi. Intinya semua peran bisa kamu ambil, dan lebih serunya lagi semua jalan bisa kamu tempuh dengan mudah. Tapi di balik semesta yang penuh kebebasan pada Roblox ini, kadang muncul satu suara kecil yang nyelip di antara keseruannya, yaitu “Gue ini siapa ya?” Lucu juga sih, dunia se-absurd dan semenarik Roblox malah bisa nyodorin pertanyaan se-eksistensial itu. Identitas jadi semacam teka-teki interaktif yang nggak selesai-selesai, kayak labirin metaforis tanpa ujung.
Coba deh kamu pikirin dulu sebelum milih karakter dan profesi sebagai pemain di game Roblox, sebagai contoh ajah kamu milih jadi petani yang jual wortel tiap hari di Roblox, atau jadi penyihir chaos di dunia lain, tanpa sadar kamu lagi bereksperimen sama diri sendiri. Apakah itu cuma simulasi, atau justru ekspresi terdalam dari sisimu yang selama ini nggak punya ruang? Di tengah semua avatar yang bisa kita pakai, muncul dilema mana yang autentik dan mana yang cuma topeng digital? Kadang yang bikin bingung bukan permainan Roblox nya, tapi refleksi batin yang terpantul lewat layar. Kayak ngerasa akrab sama diri sendiri, tapi sekaligus asing.
Roblox bukan sekadar tempat buat ngabisin waktu sambil ngejar badge atau nyari item langka tapi lebih dari itu, Roblox kayak ruang liminal yang absurd tapi ngena. Di dalamnya, kita nyemplung ke semesta alternatif yang kelihatannya acak, tapi justru memicu pertanyaan tentang siapa kita sebenarnya. Lewat karakter yang kita bentuk, dari yang paling kocak sampai yang paling melankolis, Roblox secara nggak langsung ngajak kita buat ngobrol sama diri sendiri. Di balik dunia low-poly dan sound effect yang kadang norak, ada narasi batin yang perlahan terajut dan semacam dialog diam-diam yang reflektif, bahkan kontemplatif.
Dan lucunya lagi justru di Roblox kita sering banget nemuin serpihan yang nggak pernah kita sadari ada di dalam diri. Kayak, kamu pikir kamu cuma main roleplay jadi guru sekolah yang chaotic, tapi ternyata dari situ kamu mulai mikir soal kendali, arah hidup, dan absurditas pilihan. Roblox ngajarin kita bahwa dunia pseudo-utopis pun bisa jadi cermin eksistensial, tempat semua hal seolah remeh, tapi diam-diam punya makna yang subtil. Petualangan di Roblox mungkin kelihatan random, tapi tiap loncatan kecil di game itu bisa jadi simbol dari perjalanan yang lebih dalam yaitu perjalanan yang nggak pernah kita sangka bisa muncul dari sekadar klik “Play”.
Kebanyakan dari kita nganggep Roblox cuma game buat ngilangin penat, stres, atau lainnya, yaudah yang penting main, bisa ketawa, pindah server, repeat gitu ajah. Tapi di balik setiap avatar yang kita bentuk di Roblox, ada semacam representasi simbolik, ini kayak potongan dari impian yang nggak kesampaian, keinginan yang tertahan, atau luka batin yang terlalu abstrak buat dijelasin di dunia nyata. Dunia Roblox yang serba anonim ini malah sering jadi pelarian yang subtil, tempat di mana kita bisa jadi apa pun tanpa takut dihakimi. Dan anehnya, di Roblox kita juga bisa lebih jujur, lebih berani, bahkan lebih otentik, meskipun arti “jadi diri sendiri” itu sendiri masih terus berubah kayak ombak fluktuatif.
Di Roblox nggak ada yang benar-benar permanen, tapi justru itu yang bikin semuanya terasa genuine. Kamu bisa jadi penyihir jahat yang diem-diem baik, atau jadi bocah biasa yang jadi pahlawan karena keberanian dadakan. Semua absurd, tapi penuh makna tersembunyi. Kadang Roblox bukan cuma tempat kita main, tapi tempat kita diam-diam menyembuhkan, atau sekadar napas sebentar dari dunia nyata yang terlalu gaduh. Dan mungkin, tanpa sadar, Roblox ngajarin kita bahwa luka bisa punya bentuk lain, dan kadang bentuk itu datang dalam wujud karakter digital yang kita ciptakan sendiri, satu klik penuh harapan meskipun itu di tengah pixel-pixel sederhana.
Yang bikin Roblox kerasa beda adalah kenyataan bahwa kita nggak cuma diajak main, tapi juga dikasih kebebasan buat mencipta dunia kita sendiri. Di Roblox kamu bisa bangun realitas yang sepenuhnya kamu tentuin sendiri, mulai dari bentuk tanah, warna langit, sampai jenis makhluk absurd yang bisa hidup di dalamnya. Rasanya tuh bukan sekadar seru, tapi juga agak transenden, kayak kamu bukan cuma pemain, tapi juga arsitek dari semesta digital yang kamu impikan. Dan di Roblox proses kreatif itu bukan cuma soal desain atau script, tapi soal ekspresi batin yang kadang susah banget diluapin di dunia nyata. Roblox ngasih ruang buat kita jadi entitas kreatif yang utuh, meskipun penuh trial dan error.
Terus kalau opini pribadiku sih yang paling kerasa tuh pas ada orang lain yang masuk ke dunia buatan kita di Roblox, mereka nggak cuma bisa main, tapi nikmatin juga, kadang malah ngasih komentar, dan dari situ timbul rasa yang nggak bisa didefinisikan sembarangan. Kayak ada resonansi eksistensial, semacam pengakuan implisit bahwa “aku ada, aku nyata, bahkan kalau cuma di Roblox sekalipun.” Ini bukan sekadar dunia virtual, tapi cermin kecil yang nunjukin kalau keberadaan kita punya bobot, punya gema. Dan dari setiap bangunan, rintangan, atau suara yang kita atur, Roblox jadi medium kontemplatif yang nyaru dalam bentuk game. Padahal di baliknya ada jiwa yang lagi nyoba bikin semesta kecilnya sendiri, dari puing harapan dan imajinasi.
Tapi yah,,, jangan langsung terkecoh sama euforia kebebasan di Roblox. Di balik semua pilihan jadi siapa aja, ada tekanan yang halus tapi nyata, rasa ingin jadi yang paling keren, dapet like terbanyak, punya followers segudang, atau malah cari cuan dari game. Roblox kelihatannya bebas, tapi ternyata masih kebawa logika dunia nyata, seperti popularitas, validasi, dan semacam kapitalisme digital yang terselubung. Kadang, kita jadi ikut-ikutan tren tanpa sadar, kejebak dalam konformitas yang dikemas lucu-lucu. Padahal, jadi “seseorang” di Roblox itu bukan soal seberapa mirip kita sama orang lain, tapi seberapa jujur kita sama diri sendiri.
Justru di tengah hiruk-pikuk obrolan voice chat, outfit yang hiper-stilistis, dan pameran badge yang eksesif, Roblox bisa ngajarin kita satu hal penting, keunikan itu nggak selalu harus nyaring. Kadang yang kalem, yang absurd, yang antimainstream justru lebih otentik. Mungkin jadi petani nyantai di pojok map lebih “real” daripada ikut lomba jadi seleb Robloxia. Dan dari situ, pelan-pelan kita sadar, bahwa di dunia virtual penuh warna Roblox, makna jadi diri sendiri itu bukan ilusi melainkan sesuatu yang muncul saat kita berani untuk nggak selalu tampil tapi hadir.
Arti menjadi "seseorang" dalam Roblox bukan soal jadi yang paling populer, atau punya outfit paling mahal. Tapi soal menyadari bahwa bahkan dalam dunia pixel, eksistensi kita tetap punya bobot. Di balik script dan server, kita sedang bertanya diam-diam. Siapa aku, kalau semua ini bisa dipilih? Dan justru dari sanalah, kita pelan-pelan menemukan jawaban, meski belum tentu final, tapi cukup buat melanjutkan cerita.